Sumber Hukum Materiil dan Formil.
Secara umum terlihat ada 2 sumber hukum, yaitu sumber hukum dalam arti
materiil dan formil sebagai berikut :
1.
Sumber hukum
materiil.
Sumber hukum yang menentukan isi suatu peraturan atau kaidah hukum yang
mengikat setiap orang. Sumber hukum
materiil berasal dari perasaan hukum masyarakat, pendapat umum, kondisi
sosial-ekonomi, sejarah, sosiologi, hasil penelitian ilmiah, filsafat, tradisi,
agama, moral, perkembangan internasional, geografis, politik hukum, dan lain-lain. Dalam kata lain sumber hukum materil adalah
faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi pembentukan hukum (pengaruh terhadap
pembuat UU, pengaruh terhadap keputusan hakim, dan sebagainya).
Sumber hukum materil ini merupakan faktor yang mempengaruhi materi (isi)
dari aturan-aturan hukum, atau tempat dari mana materi hukum itu diambil untuk membantu pembentukan hukum. Faktor tersebut adalah faktor idiil dan faktor kemasyarakatan.
Ø Faktor idiil adalah patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus
ditaati oleh para pembentuk UU ataupun para pembentuk hukum yang lain dalam
melaksanakan tugasnya.
Ø Faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang benar-benar hidup dalam masyarakat
dan tunduk pada aturan-aturan yang berlaku sebagai petunjuk hidup masyarakat
yang bersangkutan. Contohnya struktur ekonomi, kebiasaan, adat istiadat, dan lain-lain.
Faktor-faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan hukum yaitu:
a. Stuktural ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat antara lain: kekayaan
alam, susunan geologi, perkembangan-perkembangan
perusahaan dan pembagian kerja.
b. Kebiasaan yang telah membaku dalam masyarakat yang telah berkembang dan
pada tingkat tertentu ditaati sebagai aturan tingkah laku yang tetap.
c. Hukum yang
berlaku.
d. Tata hukum
negara-negara lain.
e. Keyakinan
tentang agama dan kesusilaan.
f. Kesadaran
hukum.
2.
Sumber hukum
dalam arti formil.
Sumber hukum formil adalah sumber
hukum dengan bentuk tertentu yang merupakan dasar berlakunya hukum secara formil. Jadi sumber hukum formil merupakan
dasar kekuatan mengikatnya
peraturan-peraturan agar ditaati oleh masyarakat maupun oleh penegak hukum. Sumber hukum yang bersangkut paut dengan masalah prosedur atau cara
pembentukannya, terdiri dari:
Apa beda antara undang-undang dengan peraturan perundang-undangan ?
Undang-undang dibuat oleh DPR persetujuan presiden, sedangkan peraturan
perundang-undangan dibuat berdasarkan wewenang masing-masing pembuatnya,
seperti PP, dan lain-lain atau Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan
tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan
mengikat secara umum (Pasal 1 ayat 2 UU No. 10 tahun 2004).
Sumber hukum
dalam arti formil, terdiri atas
:
- Undang-undang
(Statue).
- Kebiasaan
(custom).
- Traktat (Perjanjian
Internasional).
- Putusan Hakim (yurisprudensi).
- Doktrin.
Pembagian Hukum Pidana.
Hukum Pidana dapat dibagi sebagai berikut :
1.
Hukum
Pidana Obyektif (ius punale).
Hukum
pidana obyektif (ius punale) adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek
larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana
bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi hukum pidana obyektif memiliki
arti yang sama dengan hukum pidana materiil. Sebagaimana dirumuskan oleh
Hazewinkel Suringa, ius punali adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung
larangan dan perintah dan keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan
pidana bagi si pelanggarnya.
Hukum
pidana obyektif dibagi dalam :
a.
Hukum Pidana Materiil ialah semua
peraturan-peraturan yang menegaskan :
Ø Perbuatan-perbuatan
apa yang dapat dihukum.
Ø Siapa
yang dapat dihukum.
Ø Dengan
hukuman apa menghukum seseorang.
Singkatnya Hukum Pidana
Materiil mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat dihukum. Jadi Hukum
Pidana Materiil ialah peraturan-peraturan hukum atau perundang-undangan
yang berisi penetapan mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang untuk
dilakukan (perbuatan yang berupa kejahatan/pelanggaran), siapa sajakah yang
dapat dihukum, hukuman apa saja yang dapat dijatuhkan terhadap para pelaku
kejahatan/pelanggaran tersebut dan dalam hal apa sajakah terdapat pengecualian
dalam penerapan hukum ini sendiri dan sebagainya.
b.
Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara
Pidana ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur bagaimana cara
pelaksanaan/penerapan Hukum Pidana Materiil dalam praktek hukum sehari-hari
menyangkut segala hal yang berkenaan dengan suatu perkara pidana, baik didalam
maupun di luar acara sidang pengadilan (merupakan pelaksanaan dari Hukum Pidana
Materiil). Hukum Acara Pidana terkumpul atau diatur dalam Reglemen Indonesia
yang di baharui disingkat dahulu R.I.B. (Herziene Inlandsche Reglement =
H.I.R.) yang sekarang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) tahun 1981.
2.
Hukum
Pidana Subyektif (ius puniendi).
Hukum
pidana subyektif (ius puniendi) ialah hak
dari negara atau alat-alat perlengkapannya untuk mengenakan atau mengancam
pidana terhadap perbuatan tertentu. Hukum pidana subyektif ini baru ada,
setelah ada peraturan-peraturan dari hukum pidana obyektif terlebih dahulu.
Dalam hubungan ini tersimpul kekuasaan untuk dipergunakan
oleh negara yang berarti bahwa tiap orang dilarang untuk mengambil tindakan
sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana (perbuatan melanggar hukum = delik).
Hukum pidana subyektif sebagai aspek subyektifnya hukum pidana,
merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara :
- Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum.
- Untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya dengan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut.
- Untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana tadi.
3. Hukum Pidana Umum.
Hukum
pidana umum ialah hukum pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk (berlaku
terhadap siapa pun juga di seluruh Indonesia) kecuali anggota ketentaraan. Hukum
pidana umum secara definitif dapat diartikan sebagai perundang-undangan pidana yang
berlaku umum yang tercantum dalam KUHP serta perundangan-undangan yang merubah dan
menambah KUHP.
4. Hukum Pidana Khusus.
Hukum pidana khusus
ialah hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang yang tertentu. Hukum
pidana khusus sebagai perundang-undangan di bidang tertentu yang memiliki sanksi
pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan khusus, diluar KUHP
baik perUU Pidana maupun bukan pidana tetapi memiliki sanksi pidana (ketentuan yang
menyimpang dari KUHP). Contoh:
a.
Hukum Pidana Militer, berlaku khusus
untuk anggota militer dan mereka yang dipersamakan dengan militer.
b. Hukum
Pidana Pajak, berlaku khusus untuk perseroan dan mereka yang membayar pajak
(wajib pajak).
Pengertian
Hukum Pidana dan Tindak Pidana.
Hukum pidana adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar
atau aturan-aturan untuk :
Ø Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan
disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut.
Ø Menentukan
kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkan.
Ø Menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara istilah “pidana”
dengan istilah “hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah “hukuman”
kadang-kadang digunakan untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi
menurut beliau istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman”. Menurut Muladi
dan Bardanawawi Arief “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan
konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah
itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak
hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah
sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena
pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan
pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau
sifat-sifatnya yang khas”.
Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut
dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak
memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu,
maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut
sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana,
perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik.
Perbedaan Ilmu Hukum Pidana dengan
Kriminologi.
Perbedaan
antara Hukum Pidana dengan Kriminologi sangat besar. Kriminologi bukan
merupakan bagian dari ilmu pengetahuan hukum pidana. Hukum pidana adalah ilmu
pengetahaun dogmatis yang bekerja secara deduktif. Sedangkan kriminologi adalah
ilmu pengetahuan yang berorientasi kepada ilmu pengetahuan alam kodrat yang
menggunakan metode empiris-induktif.
Namun demikian, perbedaan antara kedua disiplin ilmu
tetap ada. Hukum Pidana masih dipandang sebagai ilmu pengetahuan normatif yang
penyelidikan-penyelidikannya adalah sekitar aturan-aturan hukum dan penerapan
dari aturan-aturan hukum itu dalam rangka pendambaan diri terhadap cita-cita
keadilan. Hukum pidana adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji norma-norma atau
aturan-aturan yang seharusnya, lalu dirumuskan dan ditetapkan, dan kemudian
diberlakukan. Hukum pidana bersifat umum dan universal, dan disebut
sebagai post factum atau yang disebut dengan “setelah kejadian”.
Suatu ketetapan dapat dirumuskan jikalau apabila permasalahan kejahatan telah
terjadi di dalam masyarakat, kemudian diberlakukan suatu aturan atau norma yang
memberikan batas-batas.
Sementara itu, kriminologi, yang meskipun dalam
beberapa hal berpangkal tolak dari konsepsi hukum pidana, lebih banyak
menelusuri dan menyelidiki tentang kondisi-kondisi individual dan
kondisi-kondisi sosial dari konflik-konflik, dan akibat-akibat serta
pengaruh-pengaruh dari represi konflik-konflik dan membandingkannya secara
kritis efek-efek dari represi yang bersifat kemasyarakatan disamping juga
tindakan-tindakan itu. Berbeda dengan hukum pidana yang bersifat normatif,
kriminologi lebih mengkaji tentang kenyataan yang senyata-nyatanya, menafsirkan
konteks, yang didapati dari hasil penelitian. Kriminologi bersifat lebih khusus
dan terbatas. Oleh karena itu kriminologi disebut sebagai pre factum atau
yang disebut juga dengan “sebelum kejadian”, di mana kriminologi lebih mengkaji
sebab musabab dari suatu permasalahan kejahatan.
Meski berbeda, para ahli hukum pidana tetap
memerlukan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan pembantu. Dengan menyadari
sifat tersendiri dari masing-masing ilmu pengetahuan ini, ilmu pengetahuan
hukum pidana dan kriminologi harus bekerja secara berpasangan, tetapi dengan
arahnya yang berlawanan. Di antara kedua disiplin ilmu pengetahuan ini,
terdapat pikiran integrasi yang saling memerlukan antara satu sama lain.
Meskipun berbeda, ilmu pengetahuan hukum pidana dan kriminologi tidak dapat dipisahkan.
Jadi, kriminologi dan ilmu hukum pidana saling
mempengaruhi. Kriminologi menerima hukum itu seperti yang dimaksudkan oleh ilmu
hukum pidana, sebaliknya kriminologi dan praktek hukum memperkaya ilmu hukum
pidana dan mengadakan evaluasi atas hukum pidana itu.
Isi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) adalah sebagai berikut :
1.
Buku I :
Mengatur tentang Aturan Umum dari pasal 1 sampai dengan pasal 103 KUHP.
2.
Buku II :
Mengatur tentang Kejahatan dari pasal 104 sampai dengan pasal 488 KUHP.
3.
Buku III :
Mengatur tentang Pelanggaran dari pasal 489 sampai dengan pasal 569 KUHP.
Asas-Asas
Hukum Pidana.
Adapun yang menjadi asas-asas berlakunya KUHP. Hal ini diatur
dalam pasal 2 sampai dengan pasal 9 KUHP, yang memuat 4 asas, yaitu :
1.
Asas Teritorial atau Wilayah.
Undang-Undang
Pidana Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan sesuatu
pelanggaran/kejahatan di dalam wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia.
Jadi bukan hanya berlaku terhadap warga negara Indonesia sendiri saja, namun
juga berlaku terhadap orang asing yang melakukan kejahatan di wilayah kekuasaan
Indonesia.
Yang
menjadi dasar adalah tempat di mana perbuatan melanggar itu terjadi, dan karena
dasar kekuasaan Undang-Undang Pidana ini dinamakan asas Wilayah atau asas
Teritorial. Yang termasuk wilayah kekuasaan Undang-Undang Pidana itu, selain
daerah daratan, lautan dan udara teritorial, juga kapal-kapal yang memakai
bendera Indonesia (kapal-kapal Indonesia) yang berada di luar perairan
Indonesia.
Asas
teritorial terdapat dalam pasal 2 dan 3 KUHP :
Ø Pasal
2 KUHP : Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia ditetapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu
delik di Indonesia (delik = tindak pidana).
Ø Pasal
3 KUHP : Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan delik di dalam perahu atau
pesawat udara Indonesia.
Pasal
3 KUHP sebenarnya mengenai perluasan dari pasal 2 KUHP. Sebagai pengecualian asas Teritorial, ialah
bahwa Undang-Undang Pidana Indonesia tidak berkuasa terhadap :
Ø Mereka
yang mempunyai Hak Ex-Teritorial, yaitu
orang-orang di daerah negara asing tidak dikenakan Undang-Undang Pidana dari
negara itu dan oleh karena itu mereka berada di luar kekuasaan hukum negara di
mana mereka berada. Mereka itu ialah :
1. Kepala
negara asing dengan keluarganya yang berada di Indonesia.
2. Duta
besar dengan keluarganya dan pegawai-pegawai kedutaan.
3. Anak
buah kapal asing, meskipun mereka berada di luar kapalnya.
4. Anggota
ketentaraan asing yang mempunyai izin mengunjungi Indonesia.
5. Sekretaris
Jenderal PBB.
6. Anggota
delegasi negara asing yang sedang dalam perjalanan menuju sidang PBB, dan
singgah di Indonesia.
Ø Mereka
yang mempunyai Hak
Immuniteit-Parlementair (Hak Kekebalan), yaitu para anggota MPR dan DPR Pusat
dan DPR Daerah serta para Menteri juga tidak dikenakan hukuman (Pidana) untuk
segala apa yang dikatakannya (dan tulisan-tulisan mereka) di dalam gedung
Parlemen. Mereka ini mempunyai Hak Immuniteit-Parlementair. Hak ini tak diatur
dalam KUHP, tetapi diatur dalam Hukum Tata Negara (Ketetapan MPR No.I/MPR/1983
dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1970).
2. Asas Nasional Aktif atau Personalitas.
Undang-Undang Pidana Indonesia berlaku juga terhadap Warga
Negara Indonesia yang berada di luar negeri. Kalau asas Teritorial yang di
pentingkan tempat terjadinya kejahatan, maka asas Nasional Aktif yang menjadi
dasar ialah orang (kebangsaan) yang melakukan kejahatan itu.
Dengan orang di sini dimaksudkan Warga Negara Indonesia, oleh
karena itu asas ini dinamakan “asas personaliteit atau asas Nasional Aktif”.
Hal ini diatur dalam KUHP pasal 5 ayat 1 sub 1 : “Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara Indonesia yang
melakukan kejahatan tertentu di luar Indonesia”. Untuk dapat menuntut warga
negara kita di luar negeri maka diperlukan dulu penyerahannya oleh negara asing
yang bersangkutan kepada kita. Mengenai penyerahan akan dibicarakan kemudian.
3. Asas
Nasional Pasif atau Asas Perlindungan.
Didasarkan kepada kepentingan hukum negara yang dilanggar.
Undang-Undang Pidana Indonesia berkuasa juga mengadakan penuntutan terhadap
siapapun juga di luar negara Republik Indonesia juga terhadap orang asing di
luar Republik Indonesia. Disini dipentingkan kepentingan hukum sesuatu negara (keselamatan negara) yang
dilanggar oleh seseorang. Oleh karena itu asas ini dinamakan “asas perlindungan
atau asas Nasional Pasif”.
Dasar hukumnya adalah bahwa tiap negara yang berdaulat pada umumnya berhak
melindungi kepentingan hukum negaranya. Yang
termasuk perbuatan-perbuatan yang merugikan negara Indonesia seperti memalsukan
uang Indonesia, Materai, Lambang Negara, cap negara, surat hutang yang
ditanggung Pemerintah Indonesia dan lain-lain. Hal-hal ini diatur dalam KUHP
pasal 4 ayat 1, 2, dan 3, pasal 7 dan pasal 8.
4. Asas Universal
atau Universaliteit.
Undang-Undang Pidana Indonesia dapat juga diperlakukan
terhadap perbuatan-perbuatan jahat yang bersifat merugikan keselamatan
Internasional yang terjadi dalam daerah yang tidak bertuan. Jadi di sini
mengenai perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan dalam daerah yang tidak
termasuk kedaulatan sesuatu negara manapun, seperti di lautan terbuka, atau di
daerah kutub.
Kejahatan-kejahatan yang bersifat merugikan keselamatan
Internasional adalah Pembajakan di laut lepas, pemalsuan mata uang negara
manapun juga. Karena di sini yang dipentingkan keselamatan Internasional, maka
dinamakan “asas Universal”.
Asas-Asas
dalam Hukum Acara Pidana.
Adapun asas hukum acara pidana tersebut antara lain :
1.
Asas Legalitas.
Penuntut umum wajib menuntut setiap
orang yang melakukan tindak pidana tanpa kecuali. Bahwa penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang
berwenang oleh Undang-Undang dan hanya untuk hal yang diatur dalam Undang-Undang.
Asas Legalitas dalam Hukum Acara Pidana adalah hal yang berbeda dengan Asas
Legalitas dalam KUHP.
Dalam KUHP asas
legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan pun yang
dapat dihukum tanpa adanya aturan yang mengatur sebelumnya. Namun dalam Hukum
Acara Pidana asas legalitas dimaknai sebagai asas yang menyatakan bahwa setiap
Penuntut Umum wajib menuntut setiap perkara. Artinya, legalitas yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah bahwa setiap perkara hanya dapat diproses di pengadilan
setelah ada tuntutan dan gugatan terhadapnya. Asas ini diatur dalam pasal 137
KUHAP.
Sedangkan Asas Oportunitas adalah asas yang menyatakan
bahwa Penuntut Umum memiliki hak untuk menuntut atau tidak menuntut sebuah
perkara. Kedua asas ini pada dasarnya bukanlah hal yang kontradiksi, karena
Asas Legalitas berkenaan dengan Perkara yang akan diproses di pengadilan (legalitas
terhadap perkaranya) sedangkan asas oportunitas berkenaan dengan hak penuntut
umum. Apabila Penuntut Umum menggunakan haknya untuk menuntut di pengadilan
maka perkara tersebut mendapatkan legalitasnya untuk diproses di pengadilan.
2.
Asas Oportunitas.
Asas Oportunitas
adalah asas yang menyatakan bahwa Penuntut Umum memiliki hak untuk menuntut
atau tidak menuntut sebuah perkara. Penuntut umum berwenang menutup perkara demi Kepentingan Umum bukan
hukum. Menurut asas ini Penuntut Umum tidak wajib menuntut seseorang yang
melakukan tindak pidana, jika menurut pertimbangan akan merugikan kepentingan
umum.
Jadi demi kepentingan umum, seseorang
yang melakukan Tindak Pidana tidak akan dituntut ke muka pengadilan. Dengan
kata lain Penuntut Umum (PU) dapat Mempeti Es kan suatu perkara. Asas ini
diatur dalam pasal 14 huruf h KUHAP.
Menurut Pasal 14 KUHAP, merupakan
wewenang Jaksa Agung dengan pertimbangan dari Pemerintah dan DPR untuk menyampaikan
perkara demi kepentingan umum. Yaitu hak seorang Jaksa untuk menuntut
atau tidak demi kepentingan umum.
3.
Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence).
Seseorang wajib dianggap tidak
bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan
putusan itu sudah In Kracht (telah berkekuatan hukum tetap). Jadi
seseorang hanya dapat dikatakan bersalah, sepanjang hal tersebut telah
dinyatakan dalam putusan hakim dan telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Setiap orang yang ditangkap, dituntut, ditahan dan
atau dihadapkan di muka sidang wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan bersalah dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Adanya
penahanan semata-mata untuk mempermudah
proses pemeriksaan bukan untuk penghukuman (penahanan tidak sama dengan
penghukuman). Asas ini diatur dalam pasal 8 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 jo.
Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No.48 Tahun 2009.
4.
Asas Peradilan Bebas.
Hakim
dalam memberikan putusan, bebas dari adanya campur tangan dan pengaruh dari
pihak atau kekuasaan manapun. Contoh pada masa Orde Baru, Hakim berbaju ataupun
bermuka dua dimana di satu pihak secara administrasi (karir, gaji, mutasi, dan
sebagainya) di bawah Departemen Kehakiman (Lembaga Eksekutif), di lain pihak
secara operasional (perkara) di bawah Mahkamah Agung atau MA (Lembaga
Yudikatif). Saat ini dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, Hakim baik secara
administrasi maupun operasional di bawah Mahkamah Agung.
5.
Asas Perlakuan yang Sama di
Muka Hukum (Equal Justice
Under The Law).
Setiap orang (tersangka
maupun terdakwa) baik miskin maupun kaya, pejabat maupun orang biasa di dalam
pemeriksaan baik di hadapan penyidik, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan
harus diperlakukan sama. Asas ini merupakan asas yang fundamental. Dalam
pelaksanaan KUHAP tidak boleh membedakan perbedaan status, dan sebagainya.
Dalam setiap beracara pidana di Indonesia kita harus mempunyai kedudukan yang
sama.
6.
Asas Terbuka untuk Umum.
Asas terbuka
untuk umum pada pemeriksaan pengadilan maupun pembacaan putusan. Untuk tindak
pidana tertentu, (misalnya tindak pidana pemerkosaan) pemeriksaan acara
pembuktian dilakukan tertutup untuk umum, begitu pula dalam pengadilan anak. Asas
bahwa pengadilan terbuka untuk umum (kecuali diatur dalam UU), serta dihadiri
oleh terdakwa.
Hal ini supaya pengadilan transparan, bahwa pengadilan itu benar, dan tidak hanya menindas terdakwa.
Hal ini supaya pengadilan transparan, bahwa pengadilan itu benar, dan tidak hanya menindas terdakwa.
Terdakwa harus hadir di pengadilan karena yang
memberikan jawaban atas tindak pidana yang didakwakan padanya adalah terdakwa,
sehingga terdakwa harus hadir. Pada prinsipnya setiap persidangan harus dilakukan
terbuka untuk umum kecuali dalam perkara anak dan kesusilaan. Hal ini sebagaimana
yang dimaksudkan dalam pasal 153 ayat (3) KUHAP. Apabila sidang pengadilan
tidak terbuka untuk umum maka putusan hakim akan dianggap batal demi hukum
sesuai dengan ketentuan dalam pasal 153 ayat (4) KUHAP.
7.
Pemeriksaan dalam Perkara Pidana dilakukan secara Langsung dan Lisan.
Berbeda
dengan perkara perdata dapat dikuasakan dan hanya perang surat menyurat.
Sedangkan perkara pidana (langsung) Terdakwa tidak dapat dikuasakan hanya dapat
didampingi, pemeriksaan secara lisan (menggunakan bahasa Indonesia).
8.
Peradilan dilakukan secara Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan.
Prakteknya sulit
dilakukan apalagi terdakwa tidak ditahan. Bahwa setiap pemeriksaan harus
dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Adanya asas cepat ini karena pemeriksaan
dalam Hukum Acara Pidana sangat berhubungan pada nasib tersangka. Pada tahun 1977
terdapat kasus “Sekon dan Karta” yang selama 12 tahun di pemeriksaan sebelum
akhirnya dinyatakan tidak terbukti bersalah.
Asas ini adalah asas yang mendasari setiap proses peradilan di Indonesia.
Pada dasarnya asas ini tidak dikhususkan hanya pada peradilan pidana saja, akan
tetapi pada semua tingkatan peradilan asas ini diberlakukan sebagai prinsip
dasar penyelenggaraan proses peradilan. Cepat artinya Pengadilan dapat
dijadikan sebagai institusi yang dapat mewujudkan keadilan secara cepat oleh
para pencari keadilan. Sederhana artinya semua proses penanganan perkara
dilaksanakan secara efisien dan se-efektif mungkin dan Biaya Ringan artinya
bahwa biaya yang dikeluarkan selama proses penyelesaian perkara di pengadilan
adalah biaya yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Asas ini diatur dalam pasal 50 KUHAP.
9.
Asas Perlindungan Hak Asasi Manusia.
Dalam pemeriksaan, baik tahap penyidikan, penuntutan
maupun di pengadilan, Tersangka maupun Terdakwa harus mendapat perlakuan sesuai
dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia yang diberi hak untuk membela
diri (akuisator),
tidak dianggap sebagai barang atau objek yang diperiksa wujudnya (Inkuisator).
Asas Akuisator dan Inkuisator adalah asas yang berkenaan dengan proses
pemeriksaan terdakwa di Pengadilan. Asas Akuisator adalah asas dimana
pemeriksaan dilakukan dengan memposisikan terdakwa sebagai subjek pemeriksaan.
Sedangkan Asas Inkuisator adalah asas dimana pemeriksaan dilakukan dengan
memposisikan terdakwa sebagai objek pemeriksaan.
10.
Asas Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan.
Pengadilan hanya dapat menghukum Tersangka atau Terdakwa yang
nyata-nyata memiliki kesalahan atas perbuatannya, ada peraturan yang
dilanggarnya sebelum perbuatan itu dilakukan.
Semua Asas diatas tersebut
diatur dalam Undang-Undang Kekuasan Kehakiman
(UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU
No. 35 Tahun 1999 jo. UU No. 4 Tahun 2004).
Asas Pranata Baru dalam
Hukum Acara Pidana.
1.
Asas
Ganti Rugi dan Rehabilitasi.
Asas yang
fundamental ini, juga ada dalam asas dalam deklarasi HAM. Dalam setiap pelaksanaan
Hukum Acara Pidana sejak dari tingkat penyidikan sampai dengan pemeriksaan di
persidangan apabila terjadi kesalahan wajib diberikan ganti rugi dan
rehabilitasi.
Hal ini menunjukkan bahwa, tidak boleh terjadi
kesewenang-wenangan dalam pemeriksaan aparat penegak hukum. Asas tentang perlunya memberikan
ganti rugi dan rehabilitasi kepada masyarakat yang dirugikan akibat putusan
peradilan yang salah. Misalnya dalam kasus error in persona.
2.
Asas Memperoleh Bantuan Hukum.
Bahwa sejak dari mulai menjadi tersangka sampai dengan
pengadilan, pelaku tindak pidana wajib memperoleh bantuan hukum. Konsekuensinya
aparat hukum pertama kali harus menawarkan perlu atau tidak memperoleh bantuan
hukum. Dan jika tidak mampu negara harus menyediakan. Jika tidak ditawarkan
maka seluruh pemeriksaan batal demi hukum. Fungsi dari pengacara atau bantuan
hukum ini adalah untuk menjaga hak-hak tersangka di dalam setiap pemeriksaan.
3.
Asas Informasi.
Bahwa setiap pemeriksaan di Hukum Acara Pidana para pihak
(tersangka dan pengacara) wajib diberitahukan dasar hukumnya, serta wajib
diberitahukan hak-haknya.
4.
Asas Pemeriksaan
Secara Langsung
Asas ini adalah asas yang
menyatakan bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan dalam Peradilan Pidana
adalah proses pemeriksaan secara langsung dengan kehadiran terdakwa (in presentia)
dan juga kepada para saksi.
5.
Asas Keseimbangan
Asas ini adalah asas bahwa Hukum
Acara Pidana dalam penerapannya harus memperhatikan keseimbangan antara perlindungan
harkat dan martabat manusia di satu sisi dan perlindungan terhadap kepentingan
dan ketertiban masyarakat disisi yang lainnya. Oleh karena itu, setiap hukuman
yang diputuskan harus mengandung dua unsur ini agar asas keseimbangan dapat
diwujudkan dalam setiap proses Peradilan Pidana.
6.
Asas Pemeriksaan
Tersangka/Terdakwa didampingi oleh Penasehat Hukum
Asas
ini selain diatur dalam KUHAP juga merupakan asas utama yang tercantum dalam
ICCPR (International Convention of Civil and Political Rights) bahwa setiap
terdakwa berhak untuk didampingi oleh penasehat hukum di semua tingkatan
peradilan, berhak untuk memilih sendiri penasehat hukumnya, dan wajib untuk
diberikan bantuan secara cuma-cuma untuk terdakwa dengan ancaman pidana mati atau
pidana penjara 15 tahun atau bagi yang tidak mampu dengan ancaman penjara 5
tahun atau lebih.
Beberapa Istilah Dalam Hukum Acara Pidana
Beberapa istilah penting dalam hukum acara pidana (Pasal 1 KUHAP) :
1. Penyidik adalah
pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan.
2. Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
3. Penyidik pembantu adalah
pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang
tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.
4. Penyelidik adalah
pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
5. Penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
6. a. Jaksa adalah
pejabat yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk bertindak sebagai
penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah
jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan hakim.
7. Penuntutan adalah
tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
8. Praperadilan adalah
wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini, tentang :
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahanan
atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka,
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
9. Upaya hukum adalah
hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang
berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam
undang-undang ini.
10. Penasihat hukum adalah
seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang
untuk memberi bantuan hukum.
11. Tersangka adalah
seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
12.
Terdakwa adalah
seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.
13.
Tertangkap tangan adalah
tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan
segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian
diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila
sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya
atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
14. Penangkapan adalah
suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka
atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
15. Penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
trimakasih postingannya sangat bermanfaat . jangan lupa klik blog Mengkaji Kebijakan Hukum Dalam Menikmati Lingkungan Yang Sehat
BalasHapusAssalammualaikum, terima kasih info yang bergunanya.!
BalasHapusnumpang link Cara Menyembuhkan Infeksi Saluran Pencernaan